Minggu, 01 November 2009

hakekat MUhammad dan Wihadatul wujud

HAKEKAT MUHAMMAD DAN WIHDATUL WUJUD
by: hajjelmuqtashidy




Mustahil bagi kita untuk memahami apa yang dimaksud oleh orang tasawwuf dengan ucapan mereka tentang “Hakikat Muhammadiy­yah” atau “Nur Muhammad”, kecuali dengan mengetahui aqidah mere­ka. Teori tasawwuf falsafi pada abad ke tiga belas Masehi telah sampai pada pendapat bahwa Allah ialah wujud yang berdiri ini, yang diperbarui, yang berubah, maka Dia yaitu langit, bumi, arsy, kursi, malaikat, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Dan dia itu lah yang azali dan abadi.
Maha Suci Allah, jauh dari ucapan mereka (sufi falsafi), Dia Maha Tinggi dan Maha Besar.
Mereka berbeda-beda dalam ucapannya. Kadang mereka katakan Dia itu ruh yang berjalan di dalam hal-hal yang wujud, dan mereka menyerupakan ini dengan dua hal yang berjalan bahwa Dia itu seperti aroma bunga dalam bunga, dan adanya roh dalam jasad yang hidup.
Dan kadang-kadang mereka mengatakan, nafsu wujudil maujudat (adanya makhluk itu sendiri) ialah wujud Allah. Maka tidak ada dua dalam wujud, pencipta dan makhluk, tetapi makhluk itu sendiri adalah pencipta itu. Dan pencipta itu sendiri adalah makhluk itu.
Kepercayaan batil yang demikian itu disebarkan kepada manusia oleh penggede-penggede tasawwuf dari ahli zindiq dan mulhid (murtad) seperti Ibnu ‘Arabi, Al-Hallaj, Al-Jili, Ibnu Sab’ien, dan orang-orang yang model mereka. Orang-orang sufi itu dalam kitab-kitab mereka mengingkari orang yang bersaksi bahwa Allah Ta’ala itu adalah Tuhan yang Berdiri dengan SendiriNya Yang Maha Sempurna di atas Arsy yang Dia bangun. Dan itulah yang menjadi keyakinan ummat Islam tentang Tuhan SWT. (Al-Fikrus Shufi, hal 175).
Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, At-Tajalliyyaat, mengaku bahwa ia bertemu dengan tokoh-tokoh tasawwuf terdahulu dalam Barzakh (kubur) dan mendiskusikan/ membantah kepada mereka dalam hal aqidah Tauhid mereka (Yaitu Allah di atas Arsy dan mencipta makhluk), dan Ibnu Arabi menjelaskan, menyalahkan dan memberitahukan kepada mereka pada puncaknya bahwa laa maujud illallaah, (tidak ada yang wujud kecuali Allah), wa annallaaha wal ‘abda syai’un waahid, (dan sesungguhnya Allah dan hamba itu adalah sesuatu yang satu). Dan mereka semuanya mengakui itu, semua itu ada di kitab At-Tajalliyyaat. (Al-Fikrus Shufi, hal 176).
Yang penting, orang-orang tasawwuf itu menukil/ mengutip kepercayaan wihdatul wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya makhluk dengan Tuhan) dari filsafat Platonisme, dan mereka mem­percayai dan menjadikannya sebagai hakekat sufisme dan sirril asror (rahasianya rahasia), dan itulah aqidah pengikut Islam menurut pengakuan mereka.
Orang-orang Sufi menukil pendapat para filosof dalam teori mereka mengenai awal penciptaan. Para filosof kuno mengatakan “bahwa awal penciptaam itu adalah haba’/ debu (atom), dan perta­ma-tama yang wujud itu adalah “akal awal” yang dinamakan “akal kreator” (akal fa’aal). Dan dari “akal awal” ini tumbuh alam atas, langit-langit dan bintang-bintang, kemudian alam bawah… dst. (Al-Fikrus Shufi, hal 176).
Teori filsafat kuno ini kemudian pada masa Ibnu Arabi (abad 13 M) ia nukil sendiri ke pemikiran sufi tetapi diganti nama, “akal fa”aal” yang disebutkan filosof kuno itu ia sebut “Haqiqat Muhammadiyyah” (Hakekat Muhammad). Maka sangkaan filosof bahwa awal kejadian itu adalah haba’/ debu (atom) –ucapan filosof sendiri– lalu Ibnu ‘Arabi menyebutnya awal kejadian itu adalah “hakekat Muhammad”, dan menurut ungkapan Ibnu Arabi, awal ta’yi­naat (awal kejadian yang dibentuk dari atom). Ibnu Arabi berpan­jang kalam dalam hal ini, dan ia mengatakan bahwa “Hakekat Muham­madi” ini lah yang bersemayam di atas arsy Tuhan. Dan dari nur (cahaya) dzat inilah Allah menciptakan makhluk semuanya setelah itu. Maka malaikat, langit, dan bumi semuanya itu diciptakan dari Nur Dzat yang pertama, yaitu Dzat Muhammadi, menurut Ibnu Arabi, dan “aqal fa”aal” menurut pemikiran falsafi.
Demikianlah, Ibnu Arabi mampu memindahkan barang murahan dan khayalan filsafat yang sakit, ke dunia Muslimin dan ke aqidah ummat Islam. Bahkan Ibnu Arabi menjadikan aqidah ilhadiyah (murtad, anti Tuhan) sebagai aqidah asasi/ pokok dasar yang untuk tempat berdirinya pemikiran sufi seluruhnya setelah itu.
Dari rekayasa sufi mulhid (murtad) itulah maka kita tahu apa yang dimaksud oleh orang sufi falsafi tentang wihdatul wujud, bahwa menurut mereka Allah bukanlah Dzat yang nanti dilihat oleh orang-orang Mu’min di akherat dan bersemayam di atas Arsy. Tetapi Allah menurut mereka hanyalah wujud (alam) ini sendiri dengan seluruh tingkatan dan pertentangannya. Maka Allah menurut mereka adalah adanya wujud malaikat, syetan, manusia, jin, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Pengarang Al-Fikrus Shufi berkomentar, apabila kita telah tahu hakekat teori falsafah kafir yang dipindahkan oleh orang tasawwuf mulhid (murtad) ke Islam ini maka kita tahu setelah itu, apa yang dimaksud orang sufi tentang perkataan mereka mengenai ” Hakekat Muhammadi” yang bersemayam di Arsy, dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk pertama sebelum adanya alam seluruhnya. Dan dialah yang bersemayam di atas Arsy. Dan dari Nur Muham­mad SAW itu Allah menciptakan seluruh alam, setelah itu, yaitu langit-langit, bumi, malaikat, manusia, jin, dan seluruh makhluk. Maka ” Hakekat Muhammadi”, menurut tuduhan mereka adalah bentuk sempurna yang baru bagi Dzat Tuhan yang tidak terlihat dengan dzatnya dan tidak terpisahkan dari wujud ini… Maka Nabi Muham­mad SAW menurut Ibnu Arabi dan syaikh-syaikh tasawwuf yang datang setelahnya, dialah Allah yang Mutajalli di atas Arsy, atau –katakanlah– dia (Muhammad SAW) itu Allah yang dikecilkan (dalam bentuk kecil). Dan kepada dialah, kejadian segala makhluk yang ada ini bertumpu padanya, dan segala cahaya terbelah dari­nya, dan segala alam, dan segala yang ada…
Dan Muhammad SAW itulah biji pertama bagi seluruh yang ada, maka dia seperti biji bagi pohon, dari biji itulah kemudian ada pokok, cabang, daun, buah, dan duri-duri. Maka demikian pula permulaan yang ada itu dengan adanya Muhammad SAW kemudian dari nurnya (Nur Muhammad) itu diciptakan Arsy, kursi, langit-langit, bumi, Adam dan keturunannya, dan cabang-cabang makhluk dan sete­lah itu berangsur-angsur adanya makhluk-makhluk yang diciptakan dari Nur Nabi Muhammad SAW. Maka semua yang ada ini menurut aqidah tasawwuf adalah sesuatu yang satu yang bercabang-cabang dari asal yang satu, atau katakanlah pohon yang satu yang berca­bang-cabang dari biji yang satu. (Al-Fikrus Shufi, hal 178).
Dari berbagai uraian itu bisa disimpulkan, kepercayaan sufisme mengenai Nabi Muhammad SAW ada tiga tingkatan:
1. Orang-orang yang berpendapat dengan wihdatil wujud, menganggap bahwa Allah adalah dzat alam yang ada (dzatul maujudat), maka mereka menjadikan Rasul sebagai makhluk pertama. Lalu dari dia (Rasul) lah muncul makhluk semuanya, dan dia (Rasul) itulah tuhan yang bersemayam di atas Arasy. Inilah kepercayaan Ibnu Arabi dan orang-orang model dia (yang telah dikafirkan banyak ulama).
2. Orang-orang yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah awal yang ada secara benar-benar (fi’lan), dan darinyalah terbelah cahaya-cahaya dan diciptakan makhluk semuanya. Tetapi mereka tidak mengatakan bahwa dzat rasul bersemayam di atas Arsy.
3. Orang-orang yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah awal yang ada dan dialah yang paling mulia-mulianya makhluk, dan karena dialah Allah menciptakan alam seluruhnya, tanpa mereka jelaskan bahwa alam-alam telah dibuat dari nurnya, mereka hanya­lah mengatakan diciptakan alam ini karena Nur Muhammad. (Al-Fikrus Shufi, hal 180-181).

Senin, 19 Oktober 2009

Sebait Puisi Rumi Tentang Ana'l Haqq

Puisi Rumi 
‘Fihi ma Fihi’
“When Hallaj’s love for God reached its utmost limit, he became his own enemy and naughted himself.
He said, “I am Haqq,” that is, “I have been annihilated; God remains, nothing else.”
This is extreme humility and the utmost limit of servanthood. It means, “He alone is.”
To make a false claim and to be proud is to say, “Thou art God and I am the servant.” For in this way you are affirming your own existence, and duality is the necessary result. Hence God said, “I am God.” Other than He, nothing else existed.
Hallaj had been annihilated, so those were the words of God.
Pharaoh said, “I am God,” and became despicable. Hallaj said “I am Haqq,” and was saved.
That “I” brought with it God’s curse, but this “I” brought His Mercy, oh friend! To say “I” at the wrong time is a curse, but to say it at the right time is a mercy.
Without doubt Hallaj’s “I” was a mercy, but that of Pharaoh became a curse. Note this!
(William C. Chittick, Fihi ma Fihi, in ‘The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi’, pp. 191-193)
Pertama-tama, saya sendiri berpendapat bahwa tidak mungkin Allah yang Maha Tak Terbatas secara total akan bisa bersatu seratus persen dengan makhluk. Ini sudah tentu sesuatu yang mustahil. Hanya saja, saya mengamati bahwa banyak hal yang perlu ditelaah lebih dalam mengenai persoalan ini.
Catatan: sedikit mengenai apa yang dituduhkan dengan ‘penyatuan Tuhan dan manusia’ (pantheism) kepada kaum sufi, saya bahas sedikit dalam artikel ini.
Kedua, saya sama sekali bukan orang yang memahami persoalan ini. Hanya saja saya pernah sedikit ‘kutak-katik’ tentang ‘Al-Haqq’ dan mungkin bermanfaat jika saya share di sini.

Tentang puisi tersebut dan terjemahannya
Umumnya orang membaca kutipan puisi tersebut, yang (sayangnya) umumnya hanya mencantumkan kalimat ke dua saja. Kutipan yang sangat umum mengenai puisi tersebut pada buku-buku di Indonesia (sayangnya) hanyalah sepotong ini saja, ditambah dengan kualitas terjemahan yang tidak akurat:
“Fir’aun berkata “Akulah Tuhan,” dan celakalah ia.
Hallaj berkata “Akulah Tuhan,” dan selamatlah ia.”
Padahal dalam Fihi Ma Fihi, potongan ini justru diterangkan oleh alinea sebelumnya.
Chittick, di buku aslinya, mencantumkan terjemahan puisi Rumi dari bahasa Persia dengan cukup akurat. Tapi ketika buku Chittick tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat berikut ini:
Pharaoh said, “I am God,” and became despicable.
Hallaj said “I am Haqq,” and was saved.
Entah kenapa diterjemahkan menjadi:
“Fir’aun berkata “Akulah Tuhan,” dan celakalah ia.
Hallaj berkata “Akulah Tuhan,” dan selamatlah ia.”
Terjemahan ini saya kutip dari buku William C. Chittick, ‘Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi’, Edisi Baru Cetakan Keempat, Penerbit Qalam, Mei 2002; yang menerjemahkan buku ini dari buku Chittick edisi bahasa Inggris di atas.
Sayang sekali kata terjemahannya adalah “Akulah Tuhan,” padahal kata-katanya adalah “Ana’l Haqq”, dan Chittick menerjemahkan ke bahasa Inggris dengan lebih akurat, ‘I am Haqq’. Beberapa penerjemah bahasa Inggris lain kadang menerjemahkan dengan ‘I am The Truth’. Oleh penerjemah ke bahasa Indonesia, sayang kata-katanya berubah melenceng jauh menjadi ‘Akulah Tuhan.’
Mungkin karena umumnya orang tidak membacanya secara lengkap, maka ini menimbulkan kebingungan pada mereka yang hanya membaca sepotong ini saja. Padahal Rumi telah menerangkan apa maksud kata-kata Mansur Al-Hallaj tersebut pada alinea sebelumnya (dan pada banyak puisi Rumi lainnya).
Sendainya kita membaca dengan teliti alinea sebelumnya, maka sedikit banyak akan kita dapatkan perbedaan maupun ‘kisi-kisi’ makna ‘Ana’l Haqq’ yang dikatakannya, yaitu (dalam alinea sebelumnya) “aku sesungguhnya tidak ada, hanya Allah yang eksis, tiada yang lain.” Ini menegaskan bahwa kesejatian hanyalah Allah saja, dan tidak ada yang sejati, yang benar-benar tidak ada hubungan sebab-akibat dengan apapun, selain Allah.
Sebuah kenyataan yang agak disayangkan, bahwa di Indonesia hampir semuanya menerjemahkan “Ana Al-Haqq” dari Hallaj serta-merta menjadi “Akulah Tuhan.” Padahal dia tidak mengatakan “Ana Rabb,” atau “Ana ‘Llah.” Jarang yang menerjemahkannya menjadi “Aku Al-Haqq”, sebagaimana adanya.
Sedangkan Fir’aun, ia memang mengatakan “Ilah”, ia adalah ilah yang patut disembah kaumnya, sebagaimana diabadikan Al-Qur’an surat 28:38,
“Yaa ayyuhal malaa’u maa ‘alimtulakum min ilaahi ghairii.”
Ada perbedaan yang sangat besar di antara perkataan mereka yang mengatakan diri sebagai Al-Haqq dan sebagai Ilah.
Dengan demikian, dengan segala keawaman maupun keterbatasan pengetahuan saya, rasanya saya mempercayai bahwa Hallaj tidak sedang mengatakan “akulah Allah”.

Al-Haqq
Apakah ‘Al-Haqq’ itu? Al-Haqq adalah satu nama Allah, tepatnya nama-Nya yang ke lima puluh dua, dari sembilan puluh sembilan nama-nama indah-Nya yang Dia izinkan untuk manusia ketahui.
Sebagaimana diterangkan di Qur’an pula, “Haqq” adalah kebalikan dari “Batil” (2:42, 8:8, 17:81, 21:18, 34:49, 47:3).
Tidak hanya Hallaj, Al-Qur’an pun mengatakan bahwa para Rasul membawa Al-Haqq (Q.S. [7]: 53):
“Qad jaa’at rusulu rabbina bi Al-Haqq”, telah datang rasul-rasul Rabb kami dengan Al-Haqq.
Sedangkan pada Q.S.[10]:35 dikatakan bahwa Allahlah yang memberi petunjuk kepada ‘Al-Haqq’:
“Qulil ‘Laahu yahdi lil-Haqq”, Allahlah yang memberi petunjuk kepada Al-Haqq.
Dengan data-data itu, rasanya saya pun akhirnya ‘terpaksa’ mengakui bahwa siapapun dapat memperoleh ‘Al-Haqq’, jika ditunjuki-Nya.
Dan, juga dari data-data itu, rasanya saya percaya bahwa ‘Al-Haqq’ bukan berarti ‘Allah’. Ini dua hal yang berbeda. Allah sebagai dzat tidak otomatis sama dengan Al-Haqq, tapi Allah yang menunjuki siapapun kepada Al-Haqq. Al-Haqq hanya salah satu sifat-Nya, sama seperti ketika Allah menyematkan sifat Ar-Rahmaan pada seorang hamba-Nya sehingga hamba-Nya itu menjadi bersifat rahmaniyah.
Jadi rasanya Hallaj memaksudkan bahwa ‘dalam diriku ada sifat Al-Haqq‘, atau ‘Aku hanyalah salah satu tanda Al-Haqq‘, atau mungkin juga ‘Aku adalah tanda kesejatian/kebenaran’.
Saya tidak tahu persis apa makna perkataannya, tapi yang jelas dari data-data tersebut, rasanya yang jelas adalah bahwa dia tidak sedang mengatakan bahwa “Sayalah Allah”, sebagaimana banyak yang disalah artikan oleh masyarakat umum.

Syaikh Siti Jenar
Demikian pula mengenai kata-kata Syaikh Siti Jenar. Saya benar-benar tidak mengetahui apapun tentang beliau, dan kata-katanya Manunggaling Kawulo gusti.
Tapi yang saya pahami, jika kita banyak meneliti serat-serat suluk jawa, jika diperhatikan selalu ada dua ‘gusti’, yaitu Gusti dengan G kapital dan ‘gusti’ dengan G biasa.
Dalam tradisi puisi sufi, Gusti, atau Raja dengan huruf besar menyimbolkan Allah. Sedangkan ‘gusti’, atau ‘tuan’ dengan huruf kecil, menyimbolkan jiwa yang telah suci dan tenang (nafs muthma’innah) yang memimpin dan menjadi tuan bagi sang raga untuk menuju Allah.

Fana' berarti Hilang

F A N A


Adanya langkah pelampauan sampai pada satu titik dimana tauhid (penyatuan) bisa dicapai, terungkap dalam pernyataan Nabi Ibrahim as. di dalam surat Al Anam yang secara metaforis diungkapkan dalam bentuk bintang, bulan, dan matahari.

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan supaya ia termasuk orang-orang yang yakin.

Maka tatkala malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bintang itu hilang dia berkata, Aku tidak suka kepada yang hilang.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bulan itu terbenam dia berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku niscaya aku termasuk kaum yang sesat.

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar! Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. ( Surah Al-Anam [6] : 75-78 )


Bintang metafora pertama- melambangkan petunjuk atau cahaya indera seseorang yang mencari ilmu atau pengetahuan tentang kebenaran melalui sarana indera. Dahulu para pelaut menjadikan bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah ketika mereka berlayar. Bintang tak ubahnya seperti cahaya panca indera dalam diri manusia. Namun dengan cahaya indera ini seseorang takkan bisa mencapai kepada hakikat Ilahiah.

Metafora kedua bulan- adalah simbol cahaya akal. Dengan akal yang dibimbing oleh petunjuk atau cahaya syariat seseorang dapat dekat pada kebenaran dan kebajikan. Dengan cahaya akal ini seseorang dapat mengungkap rahasia-rahasia Ilmu Allah, yang dapat ia buktikan dan saksikan lewat fenomena alam. Dan keadaan ini akan membawanya kepada keyakinan yang lebih jauh terhadap kebenaran, meskipun dengan cahaya ini seseorang belum juga sanggup mencapai makrifat hakiki akan Tuhan.

Matahari metafora ketiga- melambangkan cahaya Suci atau cahaya Al Haqq yang menerangi hati manusia, sehingga seseorang yang mengalami keadaan ini memperoleh limpahan atau pelekatan sifat-sifat Allah ke dalam dirinya. Lewat cahaya Suci ini seseorang mengalami penyingkapan hati dan mata batinnya menyaksikan supremasi Tuhan dalam kekuasaan dan ilmu-Nya. Akan tetapi pada gilirannya keadaan ini menunjukkan keberagaman (katsrah). Dalam cara yang sama, keberagaman dapat dilihat pada gagasan mengenai tempat bersandar dan yang bersandar, atau pada yang Ridha dan yang diridhai. Dan ini menunjukkan adanya jarak antara keberagaman dan tauhid (kesatuan).

Keadaan ini sebagaimana dinyatakan Nabi Ibrahim as. sendiri, Inikah Tuhanku? Pernyataan dalam bentuk pertanyaan ini muncul pada tiga waktu yang berbeda, suatu pertanyaan yang sebenarnya bertujuan untuk menyatakan pengingkaran. Maksudnya, seolah-olah Nabi Ibrahim as. berkata, Ini adalah sesuatu yang diciptakan, suka terbenam dan hilang, lalu pantaskah ia menjadi Tuhanku dan Tuhan sekalian alam? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin. Ini bukanlah Tuhanku dan Tuhan sekalian alam, tetapi ini semua perwujudan dari hakikat Tuhanku. Atau ia bisa juga mengatakan, Apakah dengan cahaya panca indera, cahaya akal, dan cahaya Suci (cahaya Al Haqq). aku akan jadi tahu Tuhanku? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin Bahkan kita takkan pernah bisa mengenal-Nya kecuali dengan melintasi dan melampaui tiga cahaya itu. Sebab tak mungkin mencapai makrifat hakiki akan dzat-Nya, kecuali dengan dzat-Nya.

Disebutkan Nabi saw. bersabda, Aku telah mengenal Tuhanku melalui Tuhanku. Perumpamaan seseorang yang berusaha mencapai makrifat Tuhan dengan menggunakan cahaya Suci adalah seperti orang menyaksikan matahari dengan cahaya matahari. Jelas bahwa yang disaksikannya benar-benar matahari dan cahayanya yang tersebar ke seluruh penjuru arah, sekalipun penyaksiannya masih membedakan antara penyaksi (cahaya matahari) dengan yang disaksikan (matahari itu sendiri) bukan penyaksian ke-esa-an murni akan Tuhan.

Makna mendalam yang ingin diungkapkan di sini adalah bahwa seperti halnya orang baru bisa melihat matahari dan cahayanya setelah ia menghubungkan diri dengan matahari berdasarkan kesucian dan cahaya- begitu pula, orang baru bisa menyaksikan Yang Maha Nyata setelah berupaya menjalin hubungan antara dirinya dengan Dia, dengan cara membebaskan diri dari selain-Nya dan membenarkan keagungan-Nya secara mutlak di atas semua ciptaannya.

Ketika Allah mengungkapkan diri-Nya (tajalli) atau dzat-Nya ke dalam hati seorang hamba, maka yang diungkapkan adalah esensi-Nya, yaitu berupa nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya bukan wujud-Nya yang mutlak. Sebab wujud-Nya yang mutlak sesungguhnya tidak bersifat atau tidak terlukiskan sama sekali. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, yang ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya sendiri, sedangkan apapun selain wujud-Nya adalah ketiadaan mutlak. Tajalli dalam bentuk nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya harus dipahami sebagai keadaan dimana wujud-Nya memberi identitas atau memberi sifat kepada esensi-Nya. Sehingga lewat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya itu Dia dapat disaksikan. Jadi Esensi menjadi tumpuan atau pijakan Wujud. Dengan kata lain, pengungkapan ke-esa-an Allah ke dalam hati seorang hamba, adalah pengungkapan diri Yang Maha Nyata dari kehadiran ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak tanpa ada sifat atau lukisan apapun yang dapat melukiskannya- ke kehadiran ke-esa-an-Nya yang terlukiskan oleh sifat-sifat dan nama-nama-Nya sebagaimana Dia informasikan di dalam Al Quran dan Sunnah. Coba perhatikan dengan baik kalimat terakhir ini, karena dengan memahami ini akan memudahkan pemahaman kita selanjutnya.

Pengungkapan diri-Nya ini juga menandai munculnya sifat-sifat mengetahui dan menerima dari-Nya, sebab berbagai hakikat (di dalam ilmu-Nya) yang tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak, merupakan obyek pengetahuan-Nya, dan yang menerima pelimpahan wujud ke alam nyata (fenomenal) dimana hati seorang hamba mengalami penyingkapan (kasyf).

Gambaran keadaan ini dapat kita lihat dalam surat Al Arf [7] ayat 172,

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas diri (nafs) mereka, Bukankah Aku ini Rabb (Tuhan)-mu?. Mereka menjawab, Betul, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu tidak mengatakan di hari kiamat, Sesungguhnya kami lalai tentang hal ini.

Inilah keadaan dimana jiwa (nafs) menyaksikan kehadiran-Nya (Rabb), yang adalah bentuk-bentuk rasional dari nama-nama-Nya atau kehadiran ke-esa-an-Nya yang tersifati oleh nama-nama-Nya. Sebagaimana kita tahu kata rabb mengacu pada pengertian; pencipta, pengatur, pemelihara dan pendidik. Dengan demikian, hakikat-hakikat di dalam ilmu-Nya yang tadinya tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak (di alam non-eksistensi) kemudian aktual dan mewujud dalam alam fenomenal.

Namun demikian, sekali lagi, keadaan ini menunjukkan jiwa (nafs) yang menyaksikan lewat mata hati yang mengalami penyingkapan (kasyf), dan bukan kemusnahan (fana) di dalam-Nya. Begitu pula apa yang disaksikan adalah, kehadiran ke-esa-an-Nya dalam perwujudan-perwujudan yang beragam (sifat-sifat dan nama-nama-Nya), dan bukan kemanunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang mutlak (hilangnya selubung-selubung kemegahan Ilahi dan kekuasan-Nya, atau yang dalam istilah Mulla Shadra disebut, Perbedaan Wujud kembali kepada persamaannya).

Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Surat 55 : 26-27)

Kemusnahan (fana) di dalam-Nya, diisyaratkan di dalam surat Al Arf [7] ayat 143, yang secara metaforis diungkapkan dengan pecahnya bukit dan pingsannya Nabi Musa as.

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Tuhan berkata-kata dengannya, Musa berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah (diri-Mu). Tuhan berfirman, Kamu tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya, maka nanti kamu akan dapat melihat-Ku. Maka setelah Tuhan memperlihatkan (kebesaran) diri-Nya di bukit itu, Allah menjadikannya pecah dan Musa jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata, Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman.

Ketika Allah memperlihatkan kebesaran-Nya di bukit itu, ini mengungkapkan kehadiran ke-esa-an-Nya dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya (perwujudan yang beragam) yang dapat disaksikan oleh hati yang mengalami penyingkapan. Dan saat bukit itu pecah (Allah yang menjadikannya pecah), itu menunjukkan musnahnya selubung kebesaran-Nya, kembalinya keragaman kepada ketunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang tak bersifat atau tak terlukiskan. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, dan ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya itu sendiri, sedang selain wujud-Nya hanyalah ketiadaan. Bersamaan dengan itu pingsanlah Nabi Musa as. Pingsannya Nabi Musa adalah simbol dari kemusnahan jiwa, bukan kemusnahan aktual melainkan kemusnahan dalam makrifat. Sirna di dalam dzat-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw. : Matilah kamu sebelum datang kematian-mu. Dan inilah yang dimaksud dengan fana di dalam diri-Nya.

Dan ketika Musa as. kembali terjaga, setelah mengalami keadaan di atas, sadarlah ia bahwa apa yang selama ini ia pahami tentang hakikat Allah, apa yang sebelum ini ada dalam pikirannya tentang wujud-Nya yang mutlak, bukanlah hakikat dzat-Nya yang sesungguhnya. Mahasuci Dia dari segala apa yang disifatkan dan dilukiskan, karena dzat-Nya tidak dapat dilukiskan, Dia bukan ini, bukan itu, bukan apa pun yang bisa dibayangkan.

Fana di dalam dzat-Nya yang Maha Mutlak, adalah maqam penyingkapan Esensi Hakiki, penyingkapan seseorang dari selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan hilangnya segala selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah mereka yang melampaui penyaksikan kehadiran Allah dalam perwujudan-perwujudan beragam. Tidak ada sesuatupun kecuali Dia. Semua adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan kepada-Nya. Tanda kemusnahan di dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Surat Huud [11] : 112)
Ada perbedaan antara manusia yang terus mengada dengan dirinya sendiri dengan manusia yang telah luluh di dalam diri Tuhannya.

Akhirnya, sampailah bagi saya untuk menghentikan pembahasan mengenai keadaan fana ini, dan saya berharap semoga Allah membukakan hati dan pikiran kita semua untuk dapat menerima limpahan ilmu-Nya yang bermanfaat. Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Dialah yang mengatakan kebenaran dan menuntun ke jalan yang benar. (Laut itu tetaplah laut yang sebelumnya; kejadian hari ini hanyalah ombak dan gelombang air

Fana' berarti Hilang

F A N A
Adanya langkah pelampauan sampai pada satu titik dimana tauhid (penyatuan) bisa dicapai, terungkap dalam pernyataan Nabi Ibrahim as. di dalam surat Al Anam yang secara metaforis diungkapkan dalam bentuk bintang, bulan, dan matahari.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan supaya ia termasuk orang-orang yang yakin.
Maka tatkala malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bintang itu hilang dia berkata, Aku tidak suka kepada yang hilang.
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bulan itu terbenam dia berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku niscaya aku termasuk kaum yang sesat.
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar! Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. ( Surah Al-Anam [6] : 75-78 )
Bintang metafora pertama- melambangkan petunjuk atau cahaya indera seseorang yang mencari ilmu atau pengetahuan tentang kebenaran melalui sarana indera. Dahulu para pelaut menjadikan bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah ketika mereka berlayar. Bintang tak ubahnya seperti cahaya panca indera dalam diri manusia. Namun dengan cahaya indera ini seseorang takkan bisa mencapai kepada hakikat Ilahiah.
Metafora kedua bulan- adalah simbol cahaya akal. Dengan akal yang dibimbing oleh petunjuk atau cahaya syariat seseorang dapat dekat pada kebenaran dan kebajikan. Dengan cahaya akal ini seseorang dapat mengungkap rahasia-rahasia Ilmu Allah, yang dapat ia buktikan dan saksikan lewat fenomena alam. Dan keadaan ini akan membawanya kepada keyakinan yang lebih jauh terhadap kebenaran, meskipun dengan cahaya ini seseorang belum juga sanggup mencapai makrifat hakiki akan Tuhan.
Matahari metafora ketiga- melambangkan cahaya Suci atau cahaya Al Haqq yang menerangi hati manusia, sehingga seseorang yang mengalami keadaan ini memperoleh limpahan atau pelekatan sifat-sifat Allah ke dalam dirinya. Lewat cahaya Suci ini seseorang mengalami penyingkapan hati dan mata batinnya menyaksikan supremasi Tuhan dalam kekuasaan dan ilmu-Nya. Akan tetapi pada gilirannya keadaan ini menunjukkan keberagaman (katsrah). Dalam cara yang sama, keberagaman dapat dilihat pada gagasan mengenai tempat bersandar dan yang bersandar, atau pada yang Ridha dan yang diridhai. Dan ini menunjukkan adanya jarak antara keberagaman dan tauhid (kesatuan).
Keadaan ini sebagaimana dinyatakan Nabi Ibrahim as. sendiri, Inikah Tuhanku? Pernyataan dalam bentuk pertanyaan ini muncul pada tiga waktu yang berbeda, suatu pertanyaan yang sebenarnya bertujuan untuk menyatakan pengingkaran. Maksudnya, seolah-olah Nabi Ibrahim as. berkata, Ini adalah sesuatu yang diciptakan, suka terbenam dan hilang, lalu pantaskah ia menjadi Tuhanku dan Tuhan sekalian alam? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin. Ini bukanlah Tuhanku dan Tuhan sekalian alam, tetapi ini semua perwujudan dari hakikat Tuhanku. Atau ia bisa juga mengatakan, Apakah dengan cahaya panca indera, cahaya akal, dan cahaya Suci (cahaya Al Haqq). aku akan jadi tahu Tuhanku? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin Bahkan kita takkan pernah bisa mengenal-Nya kecuali dengan melintasi dan melampaui tiga cahaya itu. Sebab tak mungkin mencapai makrifat hakiki akan dzat-Nya, kecuali dengan dzat-Nya.
Disebutkan Nabi saw. bersabda, Aku telah mengenal Tuhanku melalui Tuhanku. Perumpamaan seseorang yang berusaha mencapai makrifat Tuhan dengan menggunakan cahaya Suci adalah seperti orang menyaksikan matahari dengan cahaya matahari. Jelas bahwa yang disaksikannya benar-benar matahari dan cahayanya yang tersebar ke seluruh penjuru arah, sekalipun penyaksiannya masih membedakan antara penyaksi (cahaya matahari) dengan yang disaksikan (matahari itu sendiri) bukan penyaksian ke-esa-an murni akan Tuhan.
Makna mendalam yang ingin diungkapkan di sini adalah bahwa seperti halnya orang baru bisa melihat matahari dan cahayanya setelah ia menghubungkan diri dengan matahari berdasarkan kesucian dan cahaya- begitu pula, orang baru bisa menyaksikan Yang Maha Nyata setelah berupaya menjalin hubungan antara dirinya dengan Dia, dengan cara membebaskan diri dari selain-Nya dan membenarkan keagungan-Nya secara mutlak di atas semua ciptaannya.
Ketika Allah mengungkapkan diri-Nya (tajalli) atau dzat-Nya ke dalam hati seorang hamba, maka yang diungkapkan adalah esensi-Nya, yaitu berupa nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya bukan wujud-Nya yang mutlak. Sebab wujud-Nya yang mutlak sesungguhnya tidak bersifat atau tidak terlukiskan sama sekali. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, yang ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya sendiri, sedangkan apapun selain wujud-Nya adalah ketiadaan mutlak. Tajalli dalam bentuk nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya harus dipahami sebagai keadaan dimana wujud-Nya memberi identitas atau memberi sifat kepada esensi-Nya. Sehingga lewat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya itu Dia dapat disaksikan. Jadi Esensi menjadi tumpuan atau pijakan Wujud. Dengan kata lain, pengungkapan ke-esa-an Allah ke dalam hati seorang hamba, adalah pengungkapan diri Yang Maha Nyata dari kehadiran ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak tanpa ada sifat atau lukisan apapun yang dapat melukiskannya- ke kehadiran ke-esa-an-Nya yang terlukiskan oleh sifat-sifat dan nama-nama-Nya sebagaimana Dia informasikan di dalam Al Quran dan Sunnah. Coba perhatikan dengan baik kalimat terakhir ini, karena dengan memahami ini akan memudahkan pemahaman kita selanjutnya.
Pengungkapan diri-Nya ini juga menandai munculnya sifat-sifat mengetahui dan menerima dari-Nya, sebab berbagai hakikat (di dalam ilmu-Nya) yang tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak, merupakan obyek pengetahuan-Nya, dan yang menerima pelimpahan wujud ke alam nyata (fenomenal) dimana hati seorang hamba mengalami penyingkapan (kasyf).
Gambaran keadaan ini dapat kita lihat dalam surat Al Arf [7] ayat 172,
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas diri (nafs) mereka, Bukankah Aku ini Rabb (Tuhan)-mu?. Mereka menjawab, Betul, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu tidak mengatakan di hari kiamat, Sesungguhnya kami lalai tentang hal ini.
Inilah keadaan dimana jiwa (nafs) menyaksikan kehadiran-Nya (Rabb), yang adalah bentuk-bentuk rasional dari nama-nama-Nya atau kehadiran ke-esa-an-Nya yang tersifati oleh nama-nama-Nya. Sebagaimana kita tahu kata rabb mengacu pada pengertian; pencipta, pengatur, pemelihara dan pendidik. Dengan demikian, hakikat-hakikat di dalam ilmu-Nya yang tadinya tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak (di alam non-eksistensi) kemudian aktual dan mewujud dalam alam fenomenal.
Namun demikian, sekali lagi, keadaan ini menunjukkan jiwa (nafs) yang menyaksikan lewat mata hati yang mengalami penyingkapan (kasyf), dan bukan kemusnahan (fana) di dalam-Nya. Begitu pula apa yang disaksikan adalah, kehadiran ke-esa-an-Nya dalam perwujudan-perwujudan yang beragam (sifat-sifat dan nama-nama-Nya), dan bukan kemanunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang mutlak (hilangnya selubung-selubung kemegahan Ilahi dan kekuasan-Nya, atau yang dalam istilah Mulla Shadra disebut, Perbedaan Wujud kembali kepada persamaannya).
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Surat 55 : 26-27)
Kemusnahan (fana) di dalam-Nya, diisyaratkan di dalam surat Al Arf [7] ayat 143, yang secara metaforis diungkapkan dengan pecahnya bukit dan pingsannya Nabi Musa as.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Tuhan berkata-kata dengannya, Musa berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah (diri-Mu). Tuhan berfirman, Kamu tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya, maka nanti kamu akan dapat melihat-Ku. Maka setelah Tuhan memperlihatkan (kebesaran) diri-Nya di bukit itu, Allah menjadikannya pecah dan Musa jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata, Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman.
Ketika Allah memperlihatkan kebesaran-Nya di bukit itu, ini mengungkapkan kehadiran ke-esa-an-Nya dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya (perwujudan yang beragam) yang dapat disaksikan oleh hati yang mengalami penyingkapan. Dan saat bukit itu pecah (Allah yang menjadikannya pecah), itu menunjukkan musnahnya selubung kebesaran-Nya, kembalinya keragaman kepada ketunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang tak bersifat atau tak terlukiskan. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, dan ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya itu sendiri, sedang selain wujud-Nya hanyalah ketiadaan. Bersamaan dengan itu pingsanlah Nabi Musa as. Pingsannya Nabi Musa adalah simbol dari kemusnahan jiwa, bukan kemusnahan aktual melainkan kemusnahan dalam makrifat. Sirna di dalam dzat-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw. : Matilah kamu sebelum datang kematian-mu. Dan inilah yang dimaksud dengan fana di dalam diri-Nya.
Dan ketika Musa as. kembali terjaga, setelah mengalami keadaan di atas, sadarlah ia bahwa apa yang selama ini ia pahami tentang hakikat Allah, apa yang sebelum ini ada dalam pikirannya tentang wujud-Nya yang mutlak, bukanlah hakikat dzat-Nya yang sesungguhnya. Mahasuci Dia dari segala apa yang disifatkan dan dilukiskan, karena dzat-Nya tidak dapat dilukiskan, Dia bukan ini, bukan itu, bukan apa pun yang bisa dibayangkan.
Fana di dalam dzat-Nya yang Maha Mutlak, adalah maqam penyingkapan Esensi Hakiki, penyingkapan seseorang dari selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan hilangnya segala selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah mereka yang melampaui penyaksikan kehadiran Allah dalam perwujudan-perwujudan beragam. Tidak ada sesuatupun kecuali Dia. Semua adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan kepada-Nya. Tanda kemusnahan di dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Surat Huud [11] : 112)
Ada perbedaan antara manusia yang terus mengada dengan dirinya sendiri dengan manusia yang telah luluh di dalam diri Tuhannya.
Akhirnya, sampailah bagi saya untuk menghentikan pembahasan mengenai keadaan fana ini, dan saya berharap semoga Allah membukakan hati dan pikiran kita semua untuk dapat menerima limpahan ilmu-Nya yang bermanfaat. Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Dialah yang mengatakan kebenaran dan menuntun ke jalan yang benar. (Laut itu tetaplah laut yang sebelumnya; kejadian hari ini hanyalah ombak dan gelombang air

Dari Zuhud ke Tasawuf

DARI ZUHUR KE TASAWUF
A. PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang zuhud dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai dengan peralihannya ke tasawuf.
B. ZUHUD
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi [1].
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah [2].
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes [3]. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir” [4]. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya [5].
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya [6]. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan” [7]. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” [8]. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari” [9]
C. FAKTOR – FAKTOR ZUHUD
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah [10]. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla [11].
Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.
Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir [12].
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman [13]
Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara’ [14], taqwa dan zuhud.
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak inginterlibat dalamkemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.
Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam [15].
Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).
D. PERALIHAN DARI ZUHUD KE TASAWUF
Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H [16].
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.
Dari perubahan –perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak : zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau ubbad) atau nasik (jamak : nussak) [17]
Zuhud yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :
1. Aliran Madinah
Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.).
Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.
2. Aliran Bashrah
Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di Abadan [18].
Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih –lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama –tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain –lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain” [19].Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.
3. Aliran Kufah
Aliran Kufah menurutLouis Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah dalam hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.
Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)
4. Aliran Mesir
Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh – tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.
Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll [20]
Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Pertama : Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran –ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
Kedua : Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip – prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.
Ketiga : Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh –sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.
Keempat : Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.
Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’) [21]. Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.

Hubungan Syari'at dan Tasawuf

Nur Islam telah menyuluhi hidup al insan dan telah mengeluarkannya daripada kongkongan kegelapan kepada sinaran yang terang. Allah telah pun menyempurnakan Islam seperti dalam firmanNya yang bermaksud: “Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan aku telah cukupkan kepadamu nikmatku, dan aku telah diredhai Islam ini menjadi agamamu”(Al-Maidah:3)

Rasulullah telah diutuskan bersama-sama dengannya satu “pakej” yang lengkap. Allah telah menyebutkan di dalam surah Al-Ahzab, ayat 21, bahawa Muhammad itu adalah uswatun hasanah yakni contoh ikutan yang terbaik. Perutusan syariatnya yang dibawa dan tasawuf di jiwanya membentuk satu ikatan yang tidak mungkin dapat dirungkaikan.

Malangnya senario hari ini menyaksikan, kedapatan ramai manusia yang berusaha berlumba-lumba dalam mendalami ilmu fikah, tetapi dalam masa yang sama telah melupakan tasawwuf islamiy dan begitulah juga yang sebaliknya. Perbuatan ini pada pandangan penulis, adalah ibarat membaling najis ke langit, akhirnya terpalit pada wajah sendiri. Impaknya amat dasyat sekali kerana ia telah menjerumus ke arah pemahaman yang tempang lagi serong kepada penuntut ilmu tersebut.

Ini mengingatkan penulis kepada kata-kata Imam Malik r.a seperti yang dicatat di dalam buku Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil Hasan,ulama fikh, vol 2, m/s: 195;

“Barangsiapa mempelajari tasawuf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fikh dia meraih kebenaran”

Malah lebih berbahaya lagi jika dia menyebarkan risalah mengenai kefahamannya itu kepada masyarakat. Tambahan pula jika orang mendengar risalah itu tidak mempunyai asas yang kukuh, maka akan mudahlah ia terjerumus bersama-sama ke dalam serombong kesesatan.

Penulis ingin membawakan suatu riwayat kisah hidup seorang tokoh yang penulis rasakan beliau adalah contoh yang ideal untuk memahamkan kita bahawa adalah amat penting untuk mendalami segenap aspek ilmu di dalam Islam sebelum terjun kepada sesuatu konklusi atau keputusan.

Tokoh yang penulis maksudkan adalah Al Imam Hujjatul Islam, Al Ghazali. Beliau adalah seorang ahli teologi, ahli falsafah, dan di antara ahli sufi yang muktabar di dalam Islam. Lahir pada 450H/1058 M di kota Ghazalah, dekat Tus, Khurasan, Iran Utara. Nama sebenarnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi al Ghazali. Susur galur ilmunya dimulai dengan mendalami ilmu fikah, kemudiannya ilmu kalam dan falsafah, diikuti dengan frasa ilmu yang terakhir yakni ilmu tasawuf.

Pada tahun 1091, beliau pernah menjadi Guru Besar Hukum kepada Nizam Al-Mulk (1018-1092), kemudian Perdana Menteri Sultan Maliksyah, dan kerajaan Saljuk di Madrasah Nizamiyah, Baghdad. Beliau mengajar di sana selama 4 tahun. Dalam waktu tersebut, beliau telah berjaya menghasilkan 2 karya yang amat berharga iaitu Maqasid Al-Falasifah (Maksud Ahli Falsafah) dan Tahafut Al Falasifah (Kecelaruan Ahli Falsafah).

2 karyanya itu telah membawa satu gelombang besar dalam dunia aliran falsafah dan ilmu kalam. Penulis amat kagum kerana Al Ghazali telah memberi tamparan yang hebat kepada ilmu logik akal yang cuba mengatasi Kalam Allah. Sesungguhnya Al Ghazali sememangnya Hujjatul Islam iaitu Pembela Islam.

Al Ghazali terus bersinar apabila berjaya menghasilkan Ihya’ Ulum Al-Din (Menghidupkan kembali ilmu Agama). Tidak salah jika penulis katakan bahawa Al Ghazali adalah sangat berpengaruh sehingga beliau disebut sebagai tokoh yang amat penting selepas zaman Rasulullah jika dilihat dari segi pengaruh dan peranannya dalam menata dan mengukuhkan nilai keagamaan.

Pada tahun 1095, Al Ghazali meninggalkan Baghdad dan mengembara dari satu negeri ke satu negeri kerana kehidupannya tergoncang oleh krisis kepercayaan. Pada mulanya beliau ke Damsyik, kemudian Hebron, Baitul Muqaddis, terus ke Makkah dan Madinah. Beliau menjalani kehidupan zuhud (asketisme) dengan mengembara selama 10 tahun.

Setelah itu, beliau kembali ke Nisabur pada tahun 1106 untuk mengajar di Madrasah Maimunah Nizamiyah. Tidak berapa lama, beliau pergi ke Tus, mendirikan HALAQAH (Sekolah Calon Sufi). Beliau mengasuh Halaqah sehingga ke penghujung usianya.

Perjalanan Intelektual dan Spiritual dalam menemukan kedamaian batin dan mengikut jalan sufi dicurahkan dalam autobiografinya yang bertajuk al-munqiz min al-dhalal (pembebas daripada kesesatan).

Al Ghazali telah mengkritik ahli falsafah dan akhirnya beliau memilih jalan tasawuf sebagai jalan menuju Allah. Dalam bukunya tahafut al-falasifah beliau sendiri telah menyanggah pandangan ahli falsafah yang membawa kepada kekufuran yakni hujah alam ini qadim, tuhan tidak mengetahui bahagian sekecil-kecil alam ini, dan ketiadaan kebangkitan jasmani pada hari Qiamat. Al Ghazali tega bangun ditengah-tengah gelanggang falsafah, dan merobek seluruh pemahaman yang songsang dan bercelaru itu.

Al Ghazali menemui kepuasan dan menemukan diri di dalam dunia tasawuf. Ternyata krisis hidupnya bukan bererti ragu, tetapi beralih arah dari dunia ke dalam batin.

Al Ghazali berkata, “Pada akhirnya saya sampai kepada kebenaran, bukan menerusi jalan akal budi serta pengumpulan bukti, melainkan menerusi cahaya yang dipancarkan oleh Allah ke dalam jiwaku.”

Berbahagialah Al Ghazali kerana telah berjaya mendamaikan antara syariat dan tasawuf. Jasanya itu amatlah besar di dalam ketamadunan Islam kerana beliau telah menzahirkan ilmu tasawuf pada jiwa umat Islam. Imam Al Ghazali juga telah berjasa dalam menyebarkan aliran As-Syairiyah yang dianut oleh majoriti Ahli Sunnah wal Jamaah (ASWJ).

Lihatlah wahai sahabatku, sesungguhnya usaha dalam pencarian ilmu ini amatlah jauh sekali. Janganlah sesekali kita menyangka bahawa pencarian ilmu itu sudah tamat. Sesekali tidak!! Pemahaman Islam itu memerlukan pengorbanan yang amat besar. Tidak malukah kita mendabik dada kononnya sudah menguasai sesuatu ilmu sedangkan al Ghazali sendiri pun, walau telah menghasilkan lebih daripada 280 buku, tetapi tidak pernah berasa cukup dalam penerokaannya mendalami ilmu Al Khaliq ini.

Penulis menyeru para netter semua dan diri penulis sendiri, agar jangan pernah berasa diri ini cukup, atau dengan bahasa mudahnya “berlagak pandai”. Kata orang tua-tua, jika kail panjang sejengkal, jangan diduga lautan dalam. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyertakan pandangan tokoh-tokoh yang dilihat kontroversi mengenai pendirian mereka tentang ilmu tasawuf ini.

Dalam volum 5 dari Muhammad ibn 'Abdul Wahhab yang bertajuk ar-Rasa'il ash-Shakhsiyyah, hal 11, serta hal. 12, 61, dan 64, dia menyatakan: "Saya tidak pernah menuduh kafir Ibn 'Arabi atau Ibn al-Fari kerana interpretasi sufinya"

Lanjutan dari Ibn Qayyim Al Jauziyyah :"Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh.

Shaikh Rashid Ridha juga berkata, "tasawuf adalah salah satu dari tiang agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk meninggikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi"(Majallat al-Manar, p. 726)

Hayatilah perjalanan hidup, onak dan duri kisah suka duka perjuangan Al Imam Hujjatul Islam Al Ghazali. Semoga kita semua mendapat iktibar dan mencontohi adabnya dalam menuntun jalan ke arah pemurnian beragama. Memahami Al Quran dan Hadith tidak cukup jika berdasarkan literal semata-mata. Unsur-unsur balaghah, majaz, asbabun nuzul, nasakh dan mansukh dan pelbagai lagi aspek perlu diberi perhatian. Memang benar kita mahu mengikut Al Quran dan As Sunnah. Tetapi bagaimanakah kita mahu mencari petunjuk untuk meneroka ke arah jalannya? Sudah tentu dengan adab-adab ilmu. Ibarat mahu menaiki tangga. Dari anak tangga pertama, tidak boleh melompat terus ke anak tangga ke sepuluh. Semestinya akan tersungkur ke bawah. Seharusnya mesti mengikut langkah demi langkah. Tapak demi tapak. Itulah langkah perjalanan bagi mereka yang bersabar

Marilah kita menuju ke arah kejayaan seperti mana yang telah dikecapi oleh ulama salaf dan khalaf. Coretan sejarah perlu dilebarkan demi mendepani masa mendatang. Agar Islam terus bersinar dan gemilang di bawah Nur kalimah yang Hak.

Hubungan Syari'at dan Tasawuf


 Hubungan Syari'at dan Tasawuf

Nur Islam telah menyuluhi hidup al insan dan telah mengeluarkannya daripada kongkongan kegelapan kepada sinaran yang terang. Allah telah pun menyempurnakan Islam seperti dalam firmanNya yang bermaksud: “Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan aku telah cukupkan kepadamu nikmatku, dan aku telah diredhai Islam ini menjadi agamamu”(Al-Maidah:3)

Rasulullah telah diutuskan bersama-sama dengannya satu “pakej” yang lengkap. Allah telah menyebutkan di dalam surah Al-Ahzab, ayat 21, bahawa Muhammad itu adalah uswatun hasanah yakni contoh ikutan yang terbaik. Perutusan syariatnya yang dibawa dan tasawuf di jiwanya membentuk satu ikatan yang tidak mungkin dapat dirungkaikan.

Malangnya senario hari ini menyaksikan, kedapatan ramai manusia yang berusaha berlumba-lumba dalam mendalami ilmu fikah, tetapi dalam masa yang sama telah melupakan tasawwuf islamiy dan begitulah juga yang sebaliknya. Perbuatan ini pada pandangan penulis, adalah ibarat membaling najis ke langit, akhirnya terpalit pada wajah sendiri. Impaknya amat dasyat sekali kerana ia telah menjerumus ke arah pemahaman yang tempang lagi serong kepada penuntut ilmu tersebut.

Ini mengingatkan penulis kepada kata-kata Imam Malik r.a seperti yang dicatat di dalam buku Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil Hasan,ulama fikh, vol 2, m/s: 195;

“Barangsiapa mempelajari tasawuf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fikh dia meraih kebenaran”

Malah lebih berbahaya lagi jika dia menyebarkan risalah mengenai kefahamannya itu kepada masyarakat. Tambahan pula jika orang mendengar risalah itu tidak mempunyai asas yang kukuh, maka akan mudahlah ia terjerumus bersama-sama ke dalam serombong kesesatan.

Penulis ingin membawakan suatu riwayat kisah hidup seorang tokoh yang penulis rasakan beliau adalah contoh yang ideal untuk memahamkan kita bahawa adalah amat penting untuk mendalami segenap aspek ilmu di dalam Islam sebelum terjun kepada sesuatu konklusi atau keputusan.

Tokoh yang penulis maksudkan adalah Al Imam Hujjatul Islam, Al Ghazali. Beliau adalah seorang ahli teologi, ahli falsafah, dan di antara ahli sufi yang muktabar di dalam Islam. Lahir pada 450H/1058 M di kota Ghazalah, dekat Tus, Khurasan, Iran Utara. Nama sebenarnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi al Ghazali. Susur galur ilmunya dimulai dengan mendalami ilmu fikah, kemudiannya ilmu kalam dan falsafah, diikuti dengan frasa ilmu yang terakhir yakni ilmu tasawuf.

Pada tahun 1091, beliau pernah menjadi Guru Besar Hukum kepada Nizam Al-Mulk (1018-1092), kemudian Perdana Menteri Sultan Maliksyah, dan kerajaan Saljuk di Madrasah Nizamiyah, Baghdad. Beliau mengajar di sana selama 4 tahun. Dalam waktu tersebut, beliau telah berjaya menghasilkan 2 karya yang amat berharga iaitu Maqasid Al-Falasifah (Maksud Ahli Falsafah) dan Tahafut Al Falasifah (Kecelaruan Ahli Falsafah).

2 karyanya itu telah membawa satu gelombang besar dalam dunia aliran falsafah dan ilmu kalam. Penulis amat kagum kerana Al Ghazali telah memberi tamparan yang hebat kepada ilmu logik akal yang cuba mengatasi Kalam Allah. Sesungguhnya Al Ghazali sememangnya Hujjatul Islam iaitu Pembela Islam.

Al Ghazali terus bersinar apabila berjaya menghasilkan Ihya’ Ulum Al-Din (Menghidupkan kembali ilmu Agama). Tidak salah jika penulis katakan bahawa Al Ghazali adalah sangat berpengaruh sehingga beliau disebut sebagai tokoh yang amat penting selepas zaman Rasulullah jika dilihat dari segi pengaruh dan peranannya dalam menata dan mengukuhkan nilai keagamaan.

Pada tahun 1095, Al Ghazali meninggalkan Baghdad dan mengembara dari satu negeri ke satu negeri kerana kehidupannya tergoncang oleh krisis kepercayaan. Pada mulanya beliau ke Damsyik, kemudian Hebron, Baitul Muqaddis, terus ke Makkah dan Madinah. Beliau menjalani kehidupan zuhud (asketisme) dengan mengembara selama 10 tahun.

Setelah itu, beliau kembali ke Nisabur pada tahun 1106 untuk mengajar di Madrasah Maimunah Nizamiyah. Tidak berapa lama, beliau pergi ke Tus, mendirikan HALAQAH (Sekolah Calon Sufi). Beliau mengasuh Halaqah sehingga ke penghujung usianya.

Perjalanan Intelektual dan Spiritual dalam menemukan kedamaian batin dan mengikut jalan sufi dicurahkan dalam autobiografinya yang bertajuk al-munqiz min al-dhalal (pembebas daripada kesesatan).

Al Ghazali telah mengkritik ahli falsafah dan akhirnya beliau memilih jalan tasawuf sebagai jalan menuju Allah. Dalam bukunya tahafut al-falasifah beliau sendiri telah menyanggah pandangan ahli falsafah yang membawa kepada kekufuran yakni hujah alam ini qadim, tuhan tidak mengetahui bahagian sekecil-kecil alam ini, dan ketiadaan kebangkitan jasmani pada hari Qiamat. Al Ghazali tega bangun ditengah-tengah gelanggang falsafah, dan merobek seluruh pemahaman yang songsang dan bercelaru itu.

Al Ghazali menemui kepuasan dan menemukan diri di dalam dunia tasawuf. Ternyata krisis hidupnya bukan bererti ragu, tetapi beralih arah dari dunia ke dalam batin.

Al Ghazali berkata, “Pada akhirnya saya sampai kepada kebenaran, bukan menerusi jalan akal budi serta pengumpulan bukti, melainkan menerusi cahaya yang dipancarkan oleh Allah ke dalam jiwaku.”

Berbahagialah Al Ghazali kerana telah berjaya mendamaikan antara syariat dan tasawuf. Jasanya itu amatlah besar di dalam ketamadunan Islam kerana beliau telah menzahirkan ilmu tasawuf pada jiwa umat Islam. Imam Al Ghazali juga telah berjasa dalam menyebarkan aliran As-Syairiyah yang dianut oleh majoriti Ahli Sunnah wal Jamaah (ASWJ).

Lihatlah wahai sahabatku, sesungguhnya usaha dalam pencarian ilmu ini amatlah jauh sekali. Janganlah sesekali kita menyangka bahawa pencarian ilmu itu sudah tamat. Sesekali tidak!! Pemahaman Islam itu memerlukan pengorbanan yang amat besar. Tidak malukah kita mendabik dada kononnya sudah menguasai sesuatu ilmu sedangkan al Ghazali sendiri pun, walau telah menghasilkan lebih daripada 280 buku, tetapi tidak pernah berasa cukup dalam penerokaannya mendalami ilmu Al Khaliq ini.

Penulis menyeru para netter semua dan diri penulis sendiri, agar jangan pernah berasa diri ini cukup, atau dengan bahasa mudahnya “berlagak pandai”. Kata orang tua-tua, jika kail panjang sejengkal, jangan diduga lautan dalam. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyertakan pandangan tokoh-tokoh yang dilihat kontroversi mengenai pendirian mereka tentang ilmu tasawuf ini.

Dalam volum 5 dari Muhammad ibn 'Abdul Wahhab yang bertajuk ar-Rasa'il ash-Shakhsiyyah, hal 11, serta hal. 12, 61, dan 64, dia menyatakan: "Saya tidak pernah menuduh kafir Ibn 'Arabi atau Ibn al-Fari kerana interpretasi sufinya"

Lanjutan dari Ibn Qayyim Al Jauziyyah :"Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh.

Shaikh Rashid Ridha juga berkata, "tasawuf adalah salah satu dari tiang agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk meninggikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi"(Majallat al-Manar, p. 726)

Hayatilah perjalanan hidup, onak dan duri kisah suka duka perjuangan Al Imam Hujjatul Islam Al Ghazali. Semoga kita semua mendapat iktibar dan mencontohi adabnya dalam menuntun jalan ke arah pemurnian beragama. Memahami Al Quran dan Hadith tidak cukup jika berdasarkan literal semata-mata. Unsur-unsur balaghah, majaz, asbabun nuzul, nasakh dan mansukh dan pelbagai lagi aspek perlu diberi perhatian. Memang benar kita mahu mengikut Al Quran dan As Sunnah. Tetapi bagaimanakah kita mahu mencari petunjuk untuk meneroka ke arah jalannya? Sudah tentu dengan adab-adab ilmu. Ibarat mahu menaiki tangga. Dari anak tangga pertama, tidak boleh melompat terus ke anak tangga ke sepuluh. Semestinya akan tersungkur ke bawah. Seharusnya mesti mengikut langkah demi langkah. Tapak demi tapak. Itulah langkah perjalanan bagi mereka yang bersabar

Marilah kita menuju ke arah kejayaan seperti mana yang telah dikecapi oleh ulama salaf dan khalaf. Coretan sejarah perlu dilebarkan demi mendepani masa mendatang. Agar Islam terus bersinar dan gemilang di bawah Nur kalimah yang Hak.

Cara Meliahat Alloh

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Sahabat bertanya kepada Rasulullah saw:
Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat?
Rasulullah saw. bersabda: Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?
Para sahabat menjawab: Tidak, wahai Rasulullah.
Rasulullah saw. bersabda: Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?
Mereka menjawab: Tidak, wahai Rasulullah.
Rasulullah saw. bersabda: Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.
Tinggallah umat ini, termasuk di antaranya yang munafik. Kemudian Allah datang kepada mereka dalam bentuk selain bentuk-Nya yang mereka kenal,
seraya berfirman: Akulah Tuhan kalian.
Mereka (umat ini) berkata: Kami berlindung kepada Allah darimu. Ini adalah tempat kami, sampai Tuhan kami datang kepada kami. Apabila Tuhan datang, kami tentu mengenal-Nya. Lalu Allah Taala datang kepada mereka dalam bentuk-Nya yang telah mereka kenal. Allah berfirman: Akulah Tuhan kalian. Mereka pun berkata: Engkau Tuhan kami. Mereka mengikuti-Nya. Dan Allah membentangkan jembatan di atas neraka Jahanam. Aku (Rasulullah saw.) dan umatkulah yang pertama kali melintas.
Pada saat itu, yang berbicara hanyalah para rasul. Doa para rasul saat itu adalah: Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah. Di dalam neraka Jahanam terdapat besi berkait seperti duri Sakdan (nama tumbuhan yang berduri besar di setiap sisinya).
Pernahkah kalian melihat Sakdan? Para sahabat menjawab: Ya, wahai Rasulullah. Rasulullah saw. melanjutkan: Besi berkait itu seperti duri Sakdan, tetapi hanya Allah yang tahu seberapa besarnya. Besi berkait itu merenggut manusia dengan amal-amal mereka. Di antara mereka ada orang yang beriman, maka tetaplah amalnya. Dan di antara mereka ada yang dapat melintas, hingga selamat.
Setelah Allah selesai memberikan keputusan untuk para hamba dan dengan rahmat-Nya Dia ingin mengeluarkan orang-orang di antara ahli neraka yang Dia kehendaki, maka Dia memerintah para malaikat untuk mengeluarkan orang-orang yang tidak pernah menyekutukan Allah. Itulah orang-orang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan rahmat-Nya, yang mengucap: “Laa ilaaha illallah”. Para malaikat mengenali mereka di neraka dengan adanya bekas sujud. Api neraka memakan tubuh anak keturunan Adam, kecuali bekas sujud. Allah melarang neraka memakan bekas sujud. Mereka dikeluarkan dari neraka, dalam keadaan hangus. Lalu mereka disiram dengan air kehidupan, sehingga mereka menjadi tumbuh seperti biji-bijian tumbuh dalam kandungan banjir (lumpur).
Kemudian selesailah Allah Taala memberi keputusan di antara para hamba. Tinggal seorang lelaki yang menghadapkan wajahnya ke neraka. Dia adalah ahli surga yang terakhir masuk.
Dia berkata: Ya Tuhanku, palingkanlah wajahku dari neraka, anginnya benar-benar menamparku dan nyala apinya membakarku. Dia terus memohon apa yang dibolehkan kepada Allah.
Kemudian Allah Taala berfirman: Mungkin, jika Aku mengabulkan permintaanmu, engkau akan meminta yang lain.
Orang itu menjawab: Aku tidak akan minta yang lain kepada-Mu. Maka ia pun berjanji kepada Allah. Lalu Allah memalingkan wajahnya dari neraka.
Ketika ia telah menghadap dan melihat surga, ia pun diam tertegun, kemudian berkata: Ya Tuhanku, majukanlah aku ke pintu surga.
Allah berfirman: Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta kepada-Ku selain apa yang sudah Kuberikan, celaka engkau, hai anak-cucu Adam, ternyata engkau tidak menepati janji.
Orang itu berkata: Ya Tuhanku! Dia memohon terus kepada Allah, hingga Allah berfirman kepadanya: Mungkin jika Aku memberimu apa yang engkau pinta, engkau akan meminta yang lain lagi.
Orang itu berkata: Tidak, demi Keagungan-Mu. Dan ia berjanji lagi kepada Tuhannya. Lalu Allah mendekatkannya ke pintu surga. Setelah ia berdiri di ambang pintu surga, ternyata pintu surga terbuka lebar baginya, sehingga ia dapat melihat dengan jelas keindahan dan kesenangan yang ada di dalamnya. Dia pun diam tertegun. Kemudian berkata: Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga.
Allah Taala berfirman kepadanya: Bukankah engkau telah berjanji tidak akan meminta selain apa yang telah Aku berikan? Celaka engkau, hai anak cucu Adam, betapa engkau tidak dapat menepati janji!
Orang itu berkata: Ya Tuhanku, aku tidak ingin menjadi makhluk-Mu yang paling malang.
Dia terus memohon kepada Allah, sehingga membuat Allah Taala tertawa (rida). Ketika Allah Taala tertawa Dia berfirman: Masuklah engkau ke surga.
Setelah orang itu masuk surga, Allah berfirman kepadanya: Inginkanlah sesuatu! Orang itu meminta kepada Tuhannya, sampai Allah mengingatkannya tentang ini dan itu. Ketika telah habis keinginan-keinginannya, Allah Taala berfirman: Itu semua untukmu, begitu pula yang semisalnya

Jumat, 16 Oktober 2009

Ilmu Kamuksan

Peksi Nala 

by: hajj el-muqtashidy

a. Sallahu allaihi wasallam;
Peksi Nala,
mulih he muliya,
he; Rengkulu, Saka Guru,
Sumuruping Kadratullah,
murub mumbul ing ngawang padhang,
haningali, hawang-hawang.

b. Awang dalem tinut dening iman;
Seg, padang teka padhang,
lah padhang, adoh katon cedhak,
katon byar padhang,
teka padhang,
Peksi Nala, wengakna lawang suwarga,
inepen lawang neraka.

c. Repp…. gregg….hiya iku Peksi Nala;
Kang misesa liyeping Karsa Mulya,
tan ana kerasa,
sampurna ing badane,
selamet sak parane,
teka sakajate! Amin, Amin, Amin!!!!

Bahasa Indonesia

a. Sallahu allaihi wasallama;
Peksi Nala,
Kembali…. hei…. kembalilah,
hei, Rengkulu, Matahari, Saka Guru,
yang meresap dikodratullah,
menyala dan membubung diangkasa cemerlang,
melihati langit dan angkasa.

b. Wahana-MU diturut oleh iman;
Seg, teranglah dan terang,
okh, terang, sekalipun jauh terlihat dekat,
kelihatan…. pyaar…. cemerlang terang,
sekonyong-konyong………. terang,
Peksi Nala, bukalah pintu surga ini,
tutuplah pintu neraka ini.

c. Repp…. gregg….yaitu Peksi Nala;
Yang misesa liyepnya Karsa Yang Mulia,
tiada terasa apa-apa,
sempurnalah dibadannya,
selamatlah kemana perginya,
sampailah segala niatnya! Amin, Amin, Amin!!!!

Makna bait-bait wirid di atas khusus bagi orang yang akan menuju keakhir kejadian, atau sewaktu kita hendak ajal! Karenanya, dilarang untuk bahan pembicaraan, menjaga kemurnian sastra tersebut, kalau memang diperlukan hanya dua kali di ucapkan untuk “menolong” orang-orang yang akan meninggal dunia, artinya hanya di peruntukkan dua orang pada hari itu bilama (di desa) tempat kita terdapat kematian!

Kalau wirid dibait-bait tersebut hanya dibaca saja tanpa pengertian yang mendalam samalah artinya kalau kita sewaktu meneriakkan slogan-slogan reklame; seyogyanya dihafal serta mengerti satu persatu apa dan dimana, surga, neraka dan akhirat serta bagaimana cara menyelaraskan wahana tersebut. Saya yakin apabila tidak disebar luaskan, maka Ilmu Kamuksan di atas akan lenyap bersama orang-orang Tua-tua yang mempunyai Ilmu itu atau Wirid Ilmu Khaq Sejati yang sempurna, dikarenakan uleh dua faktor:

Pertama, orang Tua-tua kita masih merahasiakan,

Kedua, dibawa oleh puputnya umur orang-orang tersebut!!!

Sungguh-sungguh akan berterimakasih para jiwa-jiwa yang meninggalkan badannya setelah mendapat “wisikan atau bisikan” bunyi ilmu tersebut, karena peribahasa memberikan tongkat  orang yang akan tergelincir, atau memberikan obor orang yang sedang kegelapan!!!

Cara untuk mengamalkan ilmu tersebut (kepada siapa ilmu itu diberikan), terserah kepada para pembaca, kalau tidak dengan wajar sebagaimana Guru mengajar muridnya, (seyampang orang-orang selagi hidup) setidak-tidaknya “berikan ilmu” ini terhadap orang yang akan menemui ajal dengan cara membisikkan melalui telinga kirinya!!!

Dengan demikian mulai sekarang, dari pada kita dicekam rasa kecewa dibelakang hari, sebab pada alam Sakarotilma’oti tidak seorangpun akan dapat menolong kita, sekalipun dengan suatu “matram” yang dianggap ampuh!!!

Untuk lebih memudahkan dan meresapi dalam mengamalkan ilmu tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut :

a. “Peksi Nala” artinya : Peksi = burung, sedangkan Nala = hati (dari bahasa Kawi), jadi maksudnya hati laksana burung.

Sedangkan “Ilmu Kamuksan” berasal dari bahasa Kawi yang artinya : mati dengan disertai badannya, wadagnya  atau jasadnya, hal-hal mana dulu banyak dilakukan para leluhur kita seperti para Raja-raja, Pandhita-pandhita pada zamanya!”.

“Rengkulu, Srengenge-srengenge (matahari), Soko Guru” artinya : Rengkulu = bantal, Srengenge-srengenge = sifat panas, Soko Guru = tiang rumah yang jumlahnya empat; kiasannya, hati manusia itu sadar-taksadar-selalu bersandar kepada empat nafsu yang selalu panas!”.

“Sumuruping Kodratullah” bahasa ini mempunyai dua makna : “sumuruping” atau dapat diartikan meresap atau telah mengetahui. Bila “sumurup” ini disamakan dengan “surup” akan menjadi “kesurupan” artinya dimasuki; jadi yang tepat adalah “meresapi”, jelasnya semua pekertinya bathin yang berpangkal dari “hati” itu, benar-benar diresapi oleh kodratnya Allah atau hati adalah benar-benar bekerja atas kuasanya Allah! Ingat bahwa semua yang lahir maupun yang bathin adalah kehendak dan af’al-Nya!.

b. Yang terpenting dalam pengamalan Peksi Nala sewaktu “mendobrak” pintu surga dan neraka, selanjutnya surga dan neraka adalah “jodohnya” atau dapat diganti dengan sebutan : senang atau susah, sehat dan sakit adalah satu rasa yang dirasakan oleh hati, di dalam dalil Qur’an diterangkan bahwa azab neraka berpangkal dari tiga pintu, tetapi pintu-pintu yang sebenarnya berjumlah tujuh!.

Uraian-uraian selanjutnya sejajar dengan Wirid Hidayat Jati. Inilah hakekatnya dari pada Roh dan Hati Surga dan Neraka :

1. HATI PU’AT : ialah jantung, pintunya di puser, rohnya disebut Rohullah; Surganya dinamakan Jannatul Na’iem, maksudnya lebih nikmat, buktinya tidur pulas. Nerakanya Jahanam, artinya lebih panas, buktinya lapar dan sakit perut!

2. HATI MUZARAT : YAITU Syulbi, pintunya di zakar, rohnya Roh Qudus, Surganya Jannatul Adnin, maksudnya lebih elok, buktinya keluar mani, Nerakanya Zakinn, artinya lebih dingin, buktinya waktu mandi zinabat, atau kencing!

3. HATI TAWAJUH : yaitu perut, pintunya di anus (zubur), rohnya Roh Syirikul’alam, Surganya Jannatul Thawwab, maksudnya puas, buktinya kentut dan berak; Nerakanya disebut Wailun maksudnya lebih sakit, buktinya waktu sakit berak dan berak darah!

4. HATI SALIM : yaitu ginjal, pintunya di hidung, nafsunya Mutmainah; warnanya putih, kerjanya mencium, membau, rohnya Roh Ruhkani;  Surganya Jannatul  Firdaus, artinya lebih lama, buktinya keluar masuhnya nafas; Nerakanya disebut Asfala’safilien, maksudnya sesak nafas, tandanya sakit mengi (sesak nafas)!

5. HATI SANUBARI : yaitu limpa, pintunya di mata, nafsunya Sufiyah, warnanya kuning, pekernya melihat, rohnya Roh Rabani; Surganya Jannatul Syamsi, artinya lebih terang, buktinya mengetahui segala yang ada; Nerakanya Syahhir, artinya gelap, nyatanya sakit lamur atau buta!

6. HATI MAKNAWI : yaitu empedu, pintunya di telinga, nafsunya Amarah, warnanya merah,  rohnya Roh …. (?); Surganya Jannatul Ma’oti, artinya lebih elok, buktinya perpaduannya suara; Nerakanya Laliem, maksudnya pepet, nyatanya sakit telinga atau tuli!

7. HATI SAWADI : yaitu usus, pintunya mulut, nafsunya Aluamah, rupanya hitam, pekertinga bicara, rohnya Roh Ilafi, Surganya Jannatul Syukhri, artinya lebih suka, nyatanya tertawa; Nerakanya Sukhra, maksudnya risi, nyatanya waktu menangis!

Makna sebenarnya dari Ilmu Kamuksan diatas terletak bulat-bulat pada kesempurnaan badaniah yang mengharuskan kesehatan disamping latihan bathin yang khusus bagi kebatinan! Apakah hanya dengan membaca wirid Ilmu Kamuksan tersebut akan otomatis begitu saja setelah ajal kita sampai, kemudian badan dan jiwa sempurna dan lenyap? Syukurlah kalau wirid diatas tanpa dipelajari dan tanpa syarat-syarat apapun dapat menyempurnakan pati dan hidup kita! Kalau jawabannya “belum” percumalah, walaupun bagaimana keampuhan wirid-wirid tersebut tetap tidak akan dapat menolong! Sesuai falsafah Jawa, asal kita dapat melatih Semedi pada jam-jam tertentu dengan melatih juga “mengembalikan” kondisi aslinya indriya-indriya tersebut misalkan : kembalikan suara, artinya melatih tidak mendengar sesuatu, kembalikan bau artinya hidung berhenti dulu tidak membau dan sebagainya; bukan berarti seperti zaman yang sudah-sudah kita diharuskan mengembalikan “suara kepada yang punya suara”, dalam pemikiran timbul gugatan “Siapa yang punya suara”?

Menurut Wirid Hidayat Jati “Iradatnya Dat” dalan bahasa Indosnesia-nya kurang lebih sebagai berikut : ………. karena sebenar-benarnya yang menjadi larangan atau pantangan dari para ulah Ilmu Kasampurnan itu hanya terletak pada “nafsu”. Kalau dapat mengikis (mengurangi) biasanya timbul hati yang awas dan ingat (awas lan emut, Jawa).

Karena benar-benar bahwa kita hidup melulu pengemban rasa dengan keterangan-keterangan Hidayat Jati tersebut benar dan nyata bahwa surga dan neraka yang berpintu tujuh dari poko asalnya (salurannya) berpintu tiga bukan di “sana-sana” tetapi disilah, dibadan kita yang keselurahannya minta perhatian khusus, agar tidak nyeleweng yang dapat menimbulkan rasa-rasa yang kita inginkan! Sesungguhnya memang Peksi Nala-lah yang dapat mempengaruhi, misesa, memerintah atau mengendalikan semua hasrat-hasrat lahir bathin; karenanya benar-benar sukses atau tercapai segala tujuan, hanya terletah pada hati!.

Harap diingat bahwa wirid tersebut sekali lagi hanya dapat “MERINGANKAN” jalannya Roh waktu meninggalkan badan sewaktu ajal, agar tidak terperosok ke alam penasaran, lebih-lebih kalau mulai sekarang kita amalkan dan hayati sesuai petunjuk Guru masing-masing, insya’allah ajal kita menuju sempurna, kembali ke asal awalnya “DARI TIADA RASA KE TIADA RASA”!! Amin, Amin, Amin.